Lejja dan Mistisisme Masyarakat yang Tak Pernah Punah
Boleh jadi pengunjung objek wisata permandian air panas
Lejja yang berada di Desa BuluE, Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng
–sekitar 44 kilometer sebelah utara kota Watangsoppeng, atau sekitar 175 km dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tidak mengetahui
bahwa hangatnya air panas yang mengepulkan asap belerang itu memiliki cerita
mistis yang “dipelihara” oleh masyarakat seputar daerah tersebut sejak nenek
moyang mereka. Sebutlah La Mare — nama samaran, seorang lelaki setengah baya
yang mengaku sebagai warga setempat dan sudah tinggal di daerah tersebut sejak
kecil, berutur kepada penulis mengenai
“mistisisme” Lejja.
Sumber Mata Air Panas Lejja, perhatikan sesajen yang
diletakkan pada sumber mata air itu. (Foto: Badar)
Ia mengatakan, sejak kecil saya tinggal di
kawasan ini. Rumah saya tak jauh di bawah, katanya sambil menunjuk satu arah di
kaki bukit. Jadi saya mengenal tempat wisata ini sebelum berkembang sebagaimana
sekarang. Dulu, kata La Mare, tempat ini memang dipercaya oleh masyarakat
sebagai tempat keramat, angker, dan penuh cerita mistis. Di sini ada
“penghuninya”, mahluk-makluk gaib yang memelihara kelestarian kawasan ini.
Karena itu para pengunjung tempat ini, terutama anak-anak sekolah yang biasanya
lepas kontrol kadang-kadang ada juga yang diganggu sampai kesurupan.Terutama
kalau mereka terlalu bermabok-mabokan (maksudnya bukan mabuk
minuman keras, tapi melepas kegembiraan kelewat batas hingga histeris). Karena
itulah pengunjung yang tahu hal itu tidak mau bermabok-mabokan dan
biasanya “permisi” dulu pada “penghuninya” dengan meletakkan sesajen di
bawah pohon besar, sumber air panas ini barulah bebas bersuka ria di kawasan
ini. Sesajen itu tidak harus makanan, boleh apa saja, yang
penting meletakkan sesuatu sebagai tanda permisi.
Dan sampai sekarang pun praktik-praktik
upacara mistis seperti itu masih sering dilakukan masyarakat di tempat ini.
Lihatlah pohon besar pada sumber mata air panas itu kelihatan sangat angker
dengan kain merah dan botol-botol air mineral yang digantung di dahan-dahan
rendah bagaikan lampion sebuah pesta. Itu ungkapan verbal sebagai ganti ucapan
“permisi” pada penghuninya. Tapi kenapa botol air bukan benda-benda lain ? Ya,
karena botol air itulah yang kebanyakan dibawa oleh seorang wisatawan ke tempat
wisata. Mungkin juga ada makna lain di baliknya tapi wallahua’lam bissawab,
saya tidak mengetahui hal itu, kata La Mare yang mengaku pernah sekolah di SMA
dan mendapat pendidikan agama di Madrasah ini.
Baruga di lokasi Wisata Lejja yang dapat menampung 500
orang (Foto: Badar)
Yang dimaksud mistik oleh La Mare adalah kepercayaan
masyarakat bahwa sumber mata air panas yang keluar dari bawah pohon tua yang
sudah berusia ratusan tahun itu memiliki kekuatan atau kemampuan metafisik,
dapat menyembuhkan berbagai penyakit serta dapat mendatangkan keberuntungan
bagi orang-orang tertentu yang mempercayainya. Karena itulah tidak jarang ada
orang yang bernazar atau melepas nazar di tempat itu. Juga tidak jarang ada
orang yang datang ke tempat itu dengan maksud untuk berobat.
Pada dasarnya, air panas yang muncul dari
bawah sebuah lempeng batu yang diatasnya tumbuh sebuah pohon raksasa dengan
jenggot berjuntai di dahan-dahan itu, memang memiliki kandungan belerang
sekitar 1,5 persen dan dipercaya oleh masyarakat sekitar dapar mengobati
berbagai penyakit, terutama penyakit kulit, gatal-gatal dan rematik. Orang yang
sedang menderita gatal-gatal dan rematik dan berendam di air panas yang
mengepulkan asap belerang ini akan segera merasakan penyakitnya pulih secara
berangsur-angsur. Meskipun hal ini belum bisa dibuktikan secara medis namun
banyak masyarakat yang percaya pada cerita tersebut. Dan cerita seperti ini
juga tumbuh menjadi bahagian promosi wisata Lejja secara tidak langsung dari
mulut ke mulut sehingga tempat rekreasi alam ini tak pernah sepi pengunjung.
Dari sumber mata air yang panasnya
mencapai 60 derajat celsius ini, pemerintah Kabupaten Soppeng kemudian
mengelola potensi alam ini menjadi objek wisata yang cukup menarik. Bahkan
hingga saat ini barangkali permandian alam air panas Lejja inilah yang paling
populer dari sekian banyak objek-objek wisata alam di Kabupaten Soppeng. Ada
tiga kolam induk dengan berbagai variasi bentuk, kedalaman dan kadar air panas
yang berbeda, yang dibangun untuk menampung air panas yang mengalir dari sumber
mata air di bawah pohon purba berusia ratusan tahun itu. Juga ada beberapa
kolam-kolam kecil yang dibangun dalam tempat tertutup (Menggunakan tungkup
model rumah-rumah wisata berukuran sekitar 5 X 5 meter yang dilengkapi dengan
tirai sehingga tak kelihatan dari luar. Konon, kolam-kolam tertutup seperti itu
diperuntukkan bagi pengunjung yang mempunyai pasangan dan ingin mandi bersama
di tempat-tempat tertutup itu. Kolam-kolam tertutup semacam ini dipersewakan
dengan tarif sebesar
Rp 100.000,- untuk sekali pakai (bisa sampai 2-3 jam),
sedang yang lainnya, yang menggunakan rumah-rumah terbuka dipersewakan dengan
tarif Rp 50.000,- perjam. Sedangkan kolam-kolam induk yang ukurannya jauh lebih
luas dan dapat ditempati untuk mandi beramai-ramai tidak dipersewakan.
Selain kolam-kolam air panas dalam
berbagai variasi bentuk ini, tempat wisata Lejja juga telah dilengkapi dengan
permainan alam outbond untuk melatih ketangkasan meniti jembatan dari pohon
raksasa ke pohon raksasa lainnya. Juga ada luncuran bagi anak-anak, Guest House
dan villa-villa yang dipersewakan antara 300.000 sampai 500.000 ribu semalam
dan “Baruga” untuk pertemuan yang dapat menampung sampai 500 orang peserta.
Konon juga pada bagian atas lembah ini sudah disiapkan langan tenis. Semua
sarana yang disediakan ini telah terjangkau aliran listrik PLN. Sayangnya,
kawasan ini memang belum terjangkau oleh signal telkomsel sehingga telepon
selular tidak berfungsi d sini.
Pada bagian atas lembah ini
berderet-deretlah kios-kios penjual souvenir, makanan ringan, sampai pada benda-benda
kerajinan khas Lejja yang dapat jadi oleh-oleh untuk dibawa pulang dengan harga
yang terjangkau.
Keadaan alam yang sejuk dan pohon-pohon
besar yang sebagian berjenggot lebat di dahan-dahan memagari pinggir
lembah sampai ke punggung bukit, membuat kawasan ini sangat menarik dan
eksotis. Tempat ini memang berada pada ketinggian 398 meter dari permukaan
laut. Untuk mencapat tempat ini, dulu pengunjung harus berjalan kaki sekitar 1
kilometer dari pangkalan gerbang utama sebelum sampai ke lokasi, mendaki tangga
kemudian menuruni lembah di mana lokasi wisata ini dikembangkan. Tapi saat ini
kendaraan roda empat sudah dapat sampai ke lapangan parkir di lokasi tersebut,
meski para penumpang harus menahan nafas karena kendaraan harus menempuh jalan
sempit berliku, mendaki pinggang bukit, menikung dan tentu saja dengan jurang
yang menganga menunggu anda bergelinding di kiri-kanan jalan jika sopir tidak
hati-hati membawa kendaraan.
Kawasan ini berstatus hutan lindung
berdasarkan SK. Menhut No. 636/Kpts-II/1996 tanggal 7 Oktober 1996. Luas
kawasan ini 1.265 ha yang kemudian dilakukan penataan batas, dan luasnya
bertambah menjadi 1.318 ha. Karena merupakan hutan lindung maka pengunjung
maupun masyarakat yang bermukim di kawasan ini untuk mencari nafkah dengan membuka
toko souvenir, makanan dan kerajinan Lejja harus tunduk pada SK Menhut sebagai
hutan lindung. Artinya para pengunjung dan masyarakat setempat harus menjaga
betul kelestarian kawasan itu dan tidak melakukan pelanggaran sebagaimana yang
ditetapkan oleh peraturan kawasan hutan lindung.
Tipe ekosistem di kawasan ini adalah Hutan
hujan tropis daratan rendah. Termasuk dalam tipe ekosistem zona hutan hujan
bawah dengan vegetasi tingkat atas berupa Nyato (Plaqium batanense), Lantana
(Lantana sp.), Pangi (Pangium edulis), Bitti (Vitex covassa), Ara (Ficus
spp.), Anruling (Pesonia umbeliformis), Kenanga (Cananga odonata), Kemiri
(Aleuritas moluccana), Ketapang (Terminalia catampa), Enau (Arenga spp.),
Cenrana (Pterocarpus indicus), Kayu hitam (Dyospiros celebica). Vegetasi
tingkat bawah di antaranya adalah rotan (Calamus spp.).
Sebagai tempat wisata alam kawasan ini
sudah mulai dirintis sejak tahun 1990 namun baru dikembangkan berbarengan
dengan SK Menhut sebagai kawasan hutan lindung pada tahun 1996. Ada dua aliran air
yang dijumpai di dalam kawasan ini, yaitu aliran air permukaan (sungai
Mario) dan aliran air bawah tanah. Sumber air panas dijumpai di dalam kawasan
ini yang kemudian dikembangkan menjadi objek wisata permandian air panas.
Menurut cerita La Mare, sumber air panas
ini tidak pernah kering meski kemarau panjang melanda. Kondisinya tetap sama
sepanjang masa. Ini jugalah yang menjadi salah satu penyebab munculnya berbagai
kepercayaan “mistikisme” sumber air panas tersebut. Tak jarang pengunjung ada
yang mengambil air yang keluar dari sumber mata air panas itu sebagai azimat
(jimat), sebagai air sempana (air sakti) yang dipercikkan ke tanaman padi
dengan harapan padi tak akan diganggu oleh hama. Ada juga yang menanam airnya
atau menyiramkan airnya ke sekeliling rumah dengan harapan agar rumahnya
aman tak disantroni maling atau orang-orang jahat lainnya, atau menyimpannya
dalam botol kecil kemudian digantung di sudut rumah dengan harapan untuk
mencegah terjadinya kebakaran, kena angin puyuh dan musibah bencana alam alam
lainnya.
Tentu saja cerita-cerita mistik ini hanya
merupakan isapan jempol bagi masyarakat yang sudah menganut paham
kebudayaan fungsional (baca: mereka yang berpendidikan). Namun
bagi masyarakat awam yang masih menganut kebudayaanmitis banyak yang
percaya dan meyakini hal tersebut hingga benar-benar menimbulkan kesaktian.
Karena itu pada sebagian masyarakat yang percaya, hal ini bukan sekedar mitos,
tetapi sebuah praktik mistisisme yang dipercaya dapat
mendatangkan kekuatan metafisika. Barangkali saja apa yang disebut C.A.Van
Peursen dalam Stategi Kebudayaan tentang tingkat
kebudayaan masyarakat mitis(mereka yang percaya akan kekuatan gaib
benda-benda) praktiknya masih dapat ditemui di tempat ini.
Saat saya mendaki ke puncak untuk mencapai
sumber mata air panas itu karena penasaran oleh cerita La Mare, saya terkesima
karena benar menemukan sekelompok masyarakat sedang melakukan upacara mistik,
entah sedang melepas nazar atau sedang berobat tidaklah terlalu jelas. Tetapi
saya menyaksikan seseorang yang bertindak sebagai “dukun” duduk di depan
menghadap ke pohon besar berjenggot yang dibawahnya mengalir air panas yang
mengepul-ngepulkan asap belerang itu sehingga kelihatan sangat dramatis.
Kulihat ia sedang komat-kamit mungkin membaca mantra. Meskipun hanya
samar-samar karena kabut asap belerang agak menghalangi pandangan mata saya,
dapat saya melaporkan bahwa kelompok tersebut memang bukan wisatawan tapi
mereka datang khusus untuk kegiatan upacara itu. Beberapa orang laki-laki dan
perempuan duduk dengan takzim di belakang sang “dukun”. Usai sang “dukun”
membacakan mantra, maka seseorangpun bangkit mengambil sesisir pisang madu dan
sebutir kelapa yang sudah dikuliti, serta beberapa lembar daun sirih yang sudh
dibentuk sedemikian rupa menyerupai bentuk orang yang duduk bersila kemudian
membawa semua sesajen tersebut ke sumber mata air panas yang mengalir di bawah
pohon besar itu. Pada tempat itu nampaknya memang sudah dibuat khusus karena
disana juga diletakkan sebuah kotak celengan (mirip kotak amal di mesjid) yang
terkunci dengan tulisan aksara arab “ALLAH” pada dinding kotak itu.
“Itu tempat uang. Bagi orang yang punya
nazar biasanya akan mengeluarkan sedekah dan memasukkan uang di celengan itu”
kata La Mare saat saya sudah turun dari puncak dan konfirmasi mengenai kotak
berwarna hijau bertuliskan “ALLAH” tersebut. “Di situ juga orang biasa melepas
nazar berupa kambing, ayam dan lain-lain. Dulu bahkan orang yang bernazar juga
potong hewan di situ. Tapi sejak kawasan ini menjadi kawasan wisata potong hewan
sudah dilarang. Hanya melepas hewan yang diperbolehkan.”
“Kalau ada hewan yang dilepas di atas
sana, lantas siapa yang punya nantinya?” tanya saya.
“Ya, anak-anak di sini yang berhasil
menangkapnya. Saya juga sering ikut mengejar hewan yang dilepas. Bahkan waktu
saya masih remaja, saya suka diam-diam mencuri sesajen mereka yang disimpan di
bawah pohon itu dan memakannya. Tapi tentu saja jika yang nazar sudah pulang.
Rasanya enak, apalagi kalau penganannya adalahsongkolo tujuh warna
dan ada pula paha ayam gorengnya, wah enaknya” kata La Mare sambil tertawa. Aku
pun ikut tertawa membayangkan kenakalan dan keberanian La Mare menggasak sesajen tanpa
rasa takut
1 komentar:
waoooo
Posting Komentar