PENGARUH REVOLUSI HIJAU TERHADAP PERILAKU PEREMPUAN DESA DI SEKTOR PERTANIAN
THE IMPACT OF THE GREEN
REVOLUTION TOWARD WOMEN BEHAVIOR AT
COUNTRYSIDE
IN AGRICULTURE SECTOR
Agussalim Syam
Fakultas
Pertanian Universitas Indonesia Timur Makassar
ABSTRACT
National development aspirations who
want to increase the role and
status of women in national life and also
the desire to
improve the quality of women's role and independence
of the organization just a mere hope. This hope is only hope
if the development model that has been
applied can not integrate women
in development. To applying the agricultural modernization program called the
green revolution, which the
unwitting impacts of social change in the
countryside. Development that was
intended for the welfare of the people, especially women otherwise weaken the status
of the woman is a model of development that ignore ethical values about women.
Key
words: Green
Revolution, women
behavior.
PENDAHULUAN
Negara
kita kaya dengan sumber daya alamnya dan sebagian besar
dimanfaatkan sebagai lahan agrari, oleh karena itu terdapat kurang lebih
enampuluh persen penduduknya berkecimpung di dunia pertanian dan umumnya berada
di pedesaan. Dengan demikian, masyarakat desa yang agraris menjadi sasaran
utama untuk diperkenalkan teknologi pertanian tersebut.. Oleh sebab itu,
masyarakat agrarislah yang pertama mengalami perubahan sosial.
Di kawasan
Indonesia khususnya Indonesia Timur, secara tradisional petani perempuan
memegang peranan penting dalam kegiatan produksi pertanian, baik kegiatan manajemen
maupun kerja fisik (bertani) itu sendiri, bahkan kegiatanya masih berlangsung
terus mulai pasca panen sampai pada saat
panen di musim berikutnya. Wanita potensial untuk melakukan berbagai kegiatan
produktif yang menghasilkan dan dapat membantu ekonomi keluarga, dan lebih luas
lagi ekonomi nasional, apalagi potensi tersebut menyebar di berbagai bidang
termasuk sektor pertanian. Perjalanan proses pembangunan tak selamanya mampu
memberikan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat di pedesaan.
Pembangunan yang dilakukan di masyarakat desa akan menimbulkan dampak sosial
dan budaya . Pendapat ini berlandaskan
pada asumsi pembangunan itu adalah proses perubahan (sosial dan budaya). Selain
itu masyarakat pedesaan tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur pokok
pembangunan itu sendiri, seperti teknologi dan birokrasi. Perkembangan teknologi
telah memberikan manfaat yang begitu besar di segala bidang kehidupan,
dan merupakan perangkat canggih pembangunan, disisi
lain perangkat tersebut berhadapan dengan masyarakat pedesaan yang masih
tradisional dengan segala kekhasannya.
Hingga
saat ini belum ditemukan adanya penelitian tentang pembangunan teknologi
pertanian yang berorientasi memenuhi kebutuhan petani perempuan. Penelitian
yang secara partisipatori melibatkan petani perempuan, agar teknologi itu responsif
terhadap kebutuhan perempuan, teknonologi biasanya tidak menguntungkan bagi
petani perempuan. Para petani perempuan, disamping tidak
terdaftar sebagai sumberdaya yang perlu mendapatkan informasi tentang teknologi
baru yang disebar luaskan, namun juga
dampak dari penerapan teknologi baru
terhadap merekapun hampir tak pernah dikaji. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa bila teknologi baru diperkenalkan, ternyata teknologi itu tidak ramah perempuan.
Namun tetap perlu
diperhatikan bahwa setiap masyarakat mempunyai “ego”nya dalam segala bidang
termasuk aspek tekhnologi dan kebijakan birokrasi. Perubahan yang diharapkan
dengan menperkenalkan tekhnologi seharusnya sesuai dengan apa yang menjadi ego
masyarakat tersebut, sehingga pola perubahan dapat diterima oleh masyarakat.
Karena setiap kebijakan dan perkenalan teknologi yang diberikan pada masyarakat
agraris di pedaesaan akan memberikan dampak perubahan sosial yang multi
dimensional. Perempuan dan teknologi bukan sekedar bermakna bertemunya sebuah produk
dengan pasar potensial lalu menghasilkan keuntungan yang fantastis. Ini juga
bisa berarti bertemunya dua kekuatan besar untuk melakukan sebuah perubahan
revolusioner menuju masyarakat dan bangsa yang lebih maju dan berkualitas.
Pelaksanaan
kebijakan teknologi pertanian mempunyai jalinan yang sangat kuat dengan aspek-aspek
lainnya. Jika kita rinci dimensi-dimensi perubahan tersebut, maka akan terlihat
sangat nyata terjadi perubahan dalam struktur, kultur dan interaksional.
Perubahan sosial dalam tiga dimensi ini, kalau dibiarkan terus akan merusak
tatanan sosial masyarakat desa. Maka dari itu sangat dibutuhkan kajian yang
sangat mendalam untuk mencegah dampak negatif dari kebijakan birokrasi dan
asupan teknologi yang mengiringinya dan terhadap masyarakat dan aparat yang
menjalaninya.
Beberapa
pemerhati masalah perempuan dalam pembangunan telah menilai bahwa pembangunan
yang kita laksanakan selama ini gagal memperhatikan nasib maupun kepentingan
perempuan. Partisipasi perempuan yang secara historis dan tradisional yang
telah memainkan peranan penting di sektor pertanian pedesaan telah dihancurkan
oleh pembangunan melalui program-program yang disebut dengan Revolusi hijau (modernisasi
pertanian). Khususnya mengenai Revolusi hijau beberapa ahli sosial
mengatakan bahwa revolusi hijau sebagai
implementasi dari modernisasi pertanian telah banyak merusak tatanan masyarakat
dipedesaan. Pandangan ini apabila disikapi dari isu gender bahwa pembangunan
pertanian telah menciptakan perubahan struktur masyarakat. Jika sebelum moderenisasi
pertanian diperkenalkan ke tengah masyarakat pedesaan pola hubungan antara
laki-laki dan perempuan bersifat hubungan kesetaraan gender atau keseimbangan
gender tetapi setelah modernisasi diterapkan maka dalam perspektif sosiologis
hubungan struktural berubah menjadi ketimpangan gender. Artinya adanya hubungan
dominasi dan subordinasi antara laki-laki dan perempuan didalam setiap aktivitas
kehidupan masyarakat termasuk dalam aktivitas pertanian.
PENGARUH TEKNOLOGI DAN PERUBAHAN SOSIAL PEREMPUAN DI PEDESAAN
Negara-negara
maju adalah negara yang telah berhasil melakukan transformasi dari negara
berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis besar proses
transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi,
fasisme dan komunisme (
1. Demokrasi
Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan
politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis. Pembangunan ekonomi
pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya dilakukan oleh kaum borjuis
yang terdiri dari kelas atas dan tuan
tanah. Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok
pendukung saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari
pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala
penhancuran kelompok masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil.
Negara yang mengambil jalan demokrasi.
2.
Fasisme
Berbeda
halnya demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang
dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas
ini yang memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan.
Negara yang memilih jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh
kelompok borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan mudah dikalahkan. Jepang dan
Jerman merupakan contoh dari negara yang mengambil jalan fasisme.
3. Komunisme
Komunisme
lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha
eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang
dilakukan merupakan suatu bentuk
perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya
akan mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Perkembangan masyarakat sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda
produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif ( primitive communism )
kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas ( scientific communism ).
Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap
masyarakat borjuis. Dunia
masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan”
perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan
mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum
borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan
komunisme dalam proses transformasinya adalah Cina dan Rusia.
Perubahan
yang terjadi akibat kebijakan dan asupan teknologi dapat meranah pada perubahan
multidimensional di tengah masyarakat. Perubahan
tersebut berupa perubahan dimensi kultural dan dimensi struktural, perubahan dalam dimensi kultural
mengacu kepada perubahan kebudayaan dalam masyarakat, seperti adanya penemuan (discovery)
dalam berpikir (ilmu pengetahuan), pembaruan hasil (invention)
teknologi, kontak dengan kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya difusi dan
peminjaman kebudayaan. Kesemuaannya itu meningkatkan adanya integrasi
unsur-unsur baru kedalam kebudayaan. Bentuk- bentuk sosial lainnya, dimana
bentuknya tidak berubah dan tetap dalam kerangka kerjanya. Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan sulit dipisahkan.
Tetapi secara teoritis dapatlah
dikatakan bahwa perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam struktur sosial
dan hubungan sosial, sedangkan perubahan kebudayaan mengacu kepada perubahan
pola-pola perilaku, termasuk teknologi dan dimensi dari ilmu, material dan
nonmaterial.
Dimensi
struktural mengacu kepada perubahan-perubahan dalam bentuk struktural masyarakat, menyangkut
perubahan dalam peranan, munculnya peranan baru, perubahan dalam struktural
kelas sosial dan perubahan lembaga sosial. Secara
sederhana perubahan struktural dijelaskan sebagai berubahnya bentuk lama
diganti dengan bentuk-bentuk baru yang secara tidak langsung dapat menimbulkan
difusi kebudayaan. Bentuk umum dan bentuk baru dapat diganti dan dimodivikasi
secara terus-menerus.
Pada masa pembangunan ini, baik itu
setelah Indonesia merdeka maupun orde baru, desa secara terus menerus mengalami perubahan sosial.
Masyarakat desa menerima dan menggunakan hasil penemuan
atau peniruan teknologi khususnya di
bidang pertanian, yang merupakan orientasi utama pembangunan di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan sosial di pedesaan, misalnya datangnya kolonialis dengan
berbagai ciri kebudayaan yang dibawanya, pola pendidikan, sistem ekonomi,
politik pemerintahan dan banyak hal yang tak mungkin dipisahkan dari
faktor-faktor individual yang yang berpengaruh dengan secara tanpa disadari
mampu mempengaruhi individu lainnya. Faktor yang penting dalam kaitannya dengan
pembicaraan ini adalah teknologi, yang sangat
nyata berkaitan dengan perubahan sosial di pedesaan.
Pada tahun60-an
Indonesia menerapkan program modernisasi pertanian yang dinamakan revolusi hijau, dimana tanpa disadari menimbulkan perubahan sosial dipedesaan. Revolusi
hijau sebenarnya suatu program intensifikasi tanaman pangan yang membawa ide
modernisasi. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal,
antara lain dalam hal pengelolaan tanah, penggunaan bibit unggul, penggunaan
pupuk, penggunaan sarana-sarana produksi dan pengaturan waktu panen. Disamping
penerapan teknologi, ide modernisasi juga terlihat dalam hal mengatur
kelembagaan produksi. Seiring dengan pengenalan terhadap pola yang baru
dilakukan pula pembenahan erhadap kelembagaan-kelembagaan yang berkaitan dengan
pertanian, seperti : kelompok tani, KUD, PPI, Bank Perkreditan, P3 A dan
sebagainya. Selanjutnya muncul pula pola pengembangan revolusi hijau dalam
bentuk, usaha Ekstensifikasi, Intensifikasi dan Diversifikasi.
Penerimaan
terhadap teknologi baik itu dipaksakan ataupun inisiatif agen-agen perubah,
tidak terelakkan lagi akan mempengaruhi perilaku sosial (social behavior)
dalam skala atau derajat yang besar. Lebih dari itu, introduksi teknologi yang
tidak tepat mempunyai implikasi terhadap perubahan sosial, yang kemudian akan diikuti
dan diketahui akibatnya. Contohnya, ketika teknologi berupa traktor atau mesin
penggilingan padi awal gerakan revolusi hijau sekitar tahun60-an masuk ke desa,
banyak buruh tani di
pedesaan khususnya perempuan menjadi pengangguran
akibat tenaganya tergantikan oleh mesin-mesin traktor. Keadaan ini menimbulkan perubahan struktur, kultur
dan interaksional di pedesaan. Perubahan dalam suatu aspek ini nantinya akan
merembet ke aspek lain. Struktur keluarga berubah, di mana buruh wanita yang
biasa menumbuk padi sebagai penghasilan tambahan, sekarang hanya tinggal di
rumah. Masuknya traktor menyebabkan tenaga kerja hewan menganggur dan buruh
tani kehilangan pekerjaannya. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya
urbanisasi, buruh tani dan pemuda tani lari ke kota mencari pekerjaan. Hal ini
kemudian memberikan dampak kepadatan penduduk yang membeludak di perkotaan,
lalu menjadikan perputaran ekonomi kota semakin besar dan desa semakin
tertinggal. Namun keadaan ini tidak sampai di sini, ketika mereka kembali lagi
ke desa timbul konflik kultur akibat budaya yang terbangun selama berada di
kota terbawa ke desa. Dari contoh sederhana ini dapat dibayangkan betapa akibat
perubahan suatu aspek dapat merembet ke aspek lainnya.
PENGARUH NEGATIF DARI REVOLUSI HIJAU TERHADAP
PARTISIPASI PEREMPUAN DESA DI SEKTOR PERTANIAN.
Tidak dapat dipungkiri bahwa revolusi hijau telah
mendatangkan kemajuan yaitu tercapainya produksi pertanian yang mencapai
puncaknya yaitu swasembada pangan. Namun dibalik kesuksesan ini semua harus dibayar
dengan penderitaan para petani. Sebenarnya yang diuntungkan oleh pembangunan ini adalah petani
berdasi, selebihnya banyak petani penggarap yang tersingkir karena tidak siap
menerima perubahan yang ditimbulkan oleh modernisasi. Adapun modernisasi di bidang
pertanian dengan revolusi hijaunya telah menyebabkan beberapa masalah di dunia
ketiga, khususnya Indonesia seperti : (1). peningkatan jumlah pengangguran, (2).
merosotnya nilai-nilai tradisional dan bentuk ikatan lainnya, (3). norma-norma
saling membutuhkan dan ketergantungan yang hidup dipedesaan mulai menghilang, (4).
terjadinya polarisasi sosial, dan (5)Terjadinya penurunan status wanita di
pedesaan.
Adanya hubungan
negatif antara pembangunan sosio-ekonomi suatu negara atau modernisasi dengan
pembangunan ekonomi, sosial, ini dimungkinkan adanya suatu kenyataan bahwa negara-negara
berkembang perempuan tidak diberi kesempatan terhadap akses teknik-teknik
pertanian modern, sebagian dikarenakan adanya nilai bahwa perempuan tidak dapat
menangani mesin-mesin pertanian. Lebih jauh lagi status dan peranan perempuan
dinegara berkembangan pada awalnya cukup tinggi dan dihargai oleh masyarakat, artinya
wanita memiliki partisipasi yang setara dengan laki-laki dalam kegiatan
ekonomi, etapi ketika “Western model
middel-class bias“ dan pembangunan yang “sex male-bias“ ini telah merasuki pemikiran perencana pembangunan,
mereka telah mengabaikan arti penting dari peran perempuan yang secara
tradisional telah dimainkan perempuan di masyarakat dengan sisitem ekonomi dan
pertanian yang subsisten. Dampak negatif lainnya dari pembangunan yang
mengikuti model-model barat yang telah merugikan perempuan, yaitu mekanisasi
dibidang pertanian (dalam arti luas) yang telah menghapuskan peran ekonomi
perempuan yang secara tradisional menjadi bidangnya.
Kenyataan lain
dengan pesatnya pembangunan di sektor telah menimbulkan marginalisasi perempuan
atau telah memiskinkan kaum perempuan. Misalnya saja program revolusi hijau di pulau
Jawa yang memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan
pendekatan panen dengan sistem tebang dengan menggunakan sabit, tidak
memungkinkan lagi penggunaan ani-ani, masuknya huller juga menggeser peran
tradisional perempuan sebagai penumbuk padi. Akibatnya banyak kaum perempuan
miskin di desa menjadi termarjinalisasi, partisipasi tradisional mereka sebagai
pekerja di sawah menjadi tersingkir. Ini berarti bahwa program revolusi hijau
itu dirancang tanpa memperhitungkan aspek perempuan.
Perkenalan
teknologi biasanya tidak menguntungkan
bagi petani perempuan. Bukan saja
petani perempuan tidak terdaftar sebagai sumberdaya yang perlu mendapatkan
informasi tentang teknologi baru yang disebar luaskan, namun juga dampak dari penerapan teknologi baru terhadap mereka hampir tak
pernah dikaji. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bila teknologi baru
diperkenalkan, ternyata teknologi itu tidak ramah pada perempuan. Di waktu revolusi hijau teknologi yang masuk ke desa lebih banyak
dikuasai oleh golongan ekonomi kelas atas dan menengah di desa. Dengan demikian
golongan tersebut dengan pendirianya akan menentukan pasaran kerja di desa,
yang mana hanya para petani yang memiliki keahlian dalam mengunakan teknologi
yang dapat diserap.
Salah satu contoh kecil
dampak negatif dari revolusi hijau adalah masuknya teknologi perangkat usaha
ternak sapi perah, menggeser peternak tradisional yang hanya memiliki satu
sampai tiga ekor ternak. Perangkat teknologi tersebut merubah sistem beternak,
dari ekonomi keluarga ke ekonomi komersial, dengan jumlah ternak yang banyak
dan dikuasai oleh golongan ekonomi kuat di desa atau di kota yang menanamkan
modalnya di desa. Perangkat teknologi sapi perah seperti mixer makanan ternak, cooling
unit susu, sistem pengawetan dan lain-lain, memungkinkan orang untuk
menangani jumlah ternak sapi lebih banyak. Hal ini memberikan bukti bahwa
teknologi mengakibatkan meningkatnya ukuran usaha tani di pedesaan akan tetapi
memberikan kondisi terbalik terhadap perempuan-perempuan desa yang terdesak
dari kegiatan sektor pertanian.
Berdasarkan
kenyataan ini maka telaah kepada kita
bahwa modernisasi sebagai perspektif pembangunan di Indonesia telah membawa
akibat yang fatal terhadap perempuan yang bekerja di sektor pertanian.
Konsekuensi kebijakan pembangunan yang direncanakan tanpa mempertimbangkan
gender, khususnya perempuan telah
menciptakan beberapa hal yaitu : 1. Gagal memperhatikan peran produktif
perempuan yang telah dimainkannya yaitu perempuan partisipasinya sudah tinggi
dalam aktivitas ekonomi kemasyarakatannya berubah menjadi lemah bahkan sama
sekali ditiadakan. 2. Mengukuhkan nilai-nilai dari suatu masyarakat dimana
aktivitas perempuan dibatasi di sekitar tugas-tugas rutin rumah tangga, atau
disekitar mengurus anak dan 3. Perspektif modernisasi sebagai strategi
pembangunan di negara berkembang menciptakan bias nilai mengenai pekerjaan apa
yang paling cocok untuk perempuan modern di masyarakat sedang berkembang.
PENUTUP
Dampak revolusi hijau (modernisasi pertanian)
terhadap partisipasi pembangunan perempuan dipedesaan sebagai berikut :
a. Teknologi dan birokrasi merupakan dua unsur pokok
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dalam konteks pembangunan di
pedesaan.
b. Teknologi
dan birokrasi telah menimbulkan perubahan sosial dalam tiga dimensi
utama;
struktural, kultural dan interaksional.
c. Akibat teknologi masuk desa, telah
menimbulkan pergeseran struktur kehidupan
masyarakat, struktur ekonomi, lembaga
sosial, lembaga pendidikan dan keluarga
d. Revolusi hijau mampu mempolarisasi
ekonomi masyarakat tani dengan adanya
asupan teknologi.
e. Perspektif modernisasi sebagai model pembangunan
import ala Barat secara struktural dan kultural banyak tidak cocok diterapkan
pada perempuan pedesaan yang bekerja sebagai petani. Oleh karena itu
pembangunan ini harus ditinjau kembali. Kita harus mencari model pembangunan
yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Sepatutnyalah kita
gali model pembangunan yang peka atau sensitive terhadap gender perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Balakrishnan,
Revathi. 1992. Reorientation of Home Economics Rural Development in
Developing Countries: A Technology Transfer Training Approach. FAO. Rome
Bhaskar, B.N. 1987.
“Technology and Gender. Women’s
Studies Unit, UPM & Malaysian Science Association. Kuala Lumpur”
Darmanto, 2009, ICT dan Perempuan
Usaha Kecil, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil.
Hesti,
R.Wd. 1996. Penelitian
Perspektif Gender dalam Analisis Gender Dalam Memahami Persoalan Perempuan, Jurnal
Analisis Sosial Edisi IV.
Mulyadi, Agus,
Wahyuni, S. Rachmawati, S. Silitonga S, Sukarsih, dan Suparyanto, A. 1993. Peranan
Perempuan dalam System Usaha tani di Jawa dan Bali. Proyek
Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional Bekerjasama dengan Pusat Penelitian
dan Pengem-bangan Peternakan. Badan Pene-litian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor.
Susilo Martoyo,S.E, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia. BPFE-Yoggyakarta.
________.,
1993. “Sumber Daya yang Terabaikan:
Perempuan Tani dalam Penyuluhan Pertanian”.
Masyarakat Indonesia No.2: 233-256.
________., Juliati, Jajuk, Santoso.
Heru. Idris Susrini, dan Widyanto. 1995. Peningkatan
Partisipasi Perempuan Tani dalam Proyek Pertanian Lahan Kering. Research
Report, Research Centre for Women’s Studies. Universitas Brawijaya. Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar