Jumat, 08 November 2019

Makna Layangan Yang Amanah

Layangan yang amanah
____________________
Ditulis berdasarkan kisah kecil saya bersama almarhum bapak saya.
Bukan tentang anu atau pun anu..., murni tentang layangan

Hamparan sawah yang hanya tampak batang padi yang telah terpotong oleh sabit menjadi suatu tanda bahwa arena permainan kampung telah terbuka. Karena saat itu semua padi dipotong secara manual. Bukan pakai alat canggih seperti saat ini. Sebelum panen, kita hanya mampu menapak di pematang sawah, kini bebas melangkah kemanapun pergi. 
Dari berbagai penjuru, penduduk memanfaatkan lahan usai panen. Menanam kacang hijau, jagung, dan tanaman holtikultura lainnya. Namun kami sebagai anak kampung, ini adalah waktunya memainkan permainan udara terpopuler saat itu, layangan. 
Masa-masa sulit tentu saya lewati tanpa beban. Bukan karena saya dari keluarga berada, namun dalam keterbatasan, orang tua saya tidak pernah menanamkan pemahaman bahwa bahagia itu diukur dari uang. Orang tua justu menawarkan berbagai alternatif solusi mencapai kebahagiaan. 
Telah tampak di berbagai titik beberapa layangan telah menjulang tinggi di langit. Variasi warna  kembali menghiasi langit. Tak ketinggalan teman-teman  telah mengajak bermain layangan. Layangan bervariasi, ada yang terbuat dari kertas minyak yang seharga 150 rupiah saat itu, namun ada pula layangan yang terbuat dari koran bekas, tanda bahwa itu adalah buatan sendiri. 
Lama menunggu, akhirnya bapak saya ke belakang rumah untuk beristirahat, namun saya segera menyodorkan  bilah bambu yang telah saya dapatkan dari hutan bambu dekat rumah. Seperti kebanyakan bapak, tentu saja mereka tak tega melihat anaknya menunggu lama, terlebih  teman sudah menaikkan layangan mereka. Bapak saya pun segera mengambil parang untuk membuat tulang layang-layang. Diraut dan dirangkainya bambu tersebut. Namun, ada hal berbeda saat membuat layangan saat itu, yang biasanya bapak menggunakan koran bekas, namun saat itu bapak menggunakan kertas putih polos. Saya pun heran saat itu. Ternyata ada tujuan tertentu dari kertas putih tersebut. Diambilnya spidol dan menuliskan sesuatu di layangan tersebut.
 “kalau layangan putus jangan dikejar, sudah bukan milik kita lagi”
Saya pun tidak terlalu peduli dengan tulisan tersebut. Yang jelas saya sudah memiliki layangan yang sudah siap diterbangkan. 
Saya dan teman sudah menerbangkan layangan. Layangan diterbangkan dengan cara yang biasa. Seorang teman memegang layangan setelah benangnya diulur beberapa meter. Tentu saja dengan melihat arah angin. Tampak ada yang tenang di angkasa, tampak pula ada yang sering bergoyang ke kiri dan ke kanan tanda  layangan memiliki berat yang tidak seimbang, namun itu diatasi dengan kelihaian tangan mengatur arah layangan. Suatu kepuasan sendiri ketika gulungan benang telah  habis.
Entah mengapa angin siang itu terasa berbeda. tangan terasa berat menahan benang. Bahkan saat hendak menggulung benang, harus dilakukan secara perlahan.  Teman pun merasakan hal serupa. Sepertinya kami harus sedikit bersabar menggulung kembali benang layangan.

Di arah lain terlihat keseruan bermain layangan. Layangan terlihat bergerak kesana kemari. Disambut dengan layangan yang berada di sampingnya. Itu adalah salah satu tradisi bermain layangan yang bernama “sipettu” atau saling memutus  benang layangan. Kedua layangan saling melakukan manuver untuk mengait benang lawan. Setelah benang terkait, barulah kedua pemilik layang menarik benangnya sehingga benang saling menggerek. Disitulah kekuatan benang diuji. Siapa yang kuat maka layangannya akan tetap mengudara. Namun jika kalah dan benang putus, maka resiko terbesar yaitu layangan akan hilang, karena aturannya adalah layangan yang putus akibat “sipettu” adalah milik siapa saja yang berhasil mendapatkannya. Sebenarnya bukan soal benang putus atau layangan yang hilang, tapi soal gengsi yang dipertaruhkan. Ada gelar yang akan melekat kepada seseorang yang sering memenangkan “sipettu”. Suatu kebanggaan tersendiri.
Ada dua jenis benang yang biasa digunakan dalam bermain layangan. Yang pertama adalah  benang biasa yang  digunakan menjahit pakaian. Dan yang kedua adalah benang yang digunakan untuk “sipettu”. Benang yang kedua ini bukan  benang biasa, melainkan benang yang harus diramu dulu. Ramuannya juga dicampur dari bahan yang cukup berbahaya. Yaitu dari pecahan beling yang ditumbuk halus. Pertama benang dibentangkan seperti tali jemuran. Kemudian ditumbuklah pecahan beling menjadi sangat halus. Setelah itu kanji dimasak dan pecahan beling itu dicampungkan ke kanji tersebut. Setelah mengental, barulah kemudian benang dioles dengan campuran tersebut. Campuran yang telah dioleskan pada benang dibiarkan mengering. Setelah mengering, barulah digulung dan siap digunakan untuk “sipettu”. Tidak sembarang orang yang mau menggunakan benang jenis tersebut. Harus yang memiliki nyali dan tentusaja mendapat izin dari orang tua karena bahan yang sangat berbahaya. Ada pula yang menggunakan secara sembunyi dengan resiko sabetan kayu atau jeweran siap diterima. Saya termasuk anak yang sangat dilarang menggunakan benang jenis tersebut. Ada ancaman berat jika saya melanggarnya. Lagian saya juga bermain layangan tepat di belang rumah, jadi terdapat pengawasan ketat dari ibu saya.
Sambil asyik melihat atraksi “sipettu”, tiba-tiba layangan saya putus. Saya pun melihat layangan saya terseok-seok di langit. Sempat tertegun sebentar, akhirnya saya segera berlari  mengejar layangan saya. Mata saya tidak pernah lepas dari layangan. Terlihat dari jauh layangan itu semakin turun. Optimis saya pun semakin besar. Selain itu tidak ada yang berlari mengejar layanganku selain saya. Saya pun semakin dekat dengan tempat yang saya perkirakan layangan saya jatuh. Namun anehnya,setelah saya beberapa kali berputar, saya tidak mendapatkan layangan tersebut. Saya pun agak bingung kemana layangan tersebut. Di tempat tersebut juga tidak terdapat pohon. Setelah sekian lama mencari, saya pun menyerah dan kembali ke rumah dengan tangan kosong. Dalam perjalan yang cukup jauh, saya masih tidak menerima hal tersebut  karena jelas saya melihat layangan saya jatuh disitu dan tak ada yang mengejarnya selain saya. 
Sesampai di rumah  saya agak lesu. Selain karena lelah berjalan jauh, tapi  juga karena kenyataan pahit saya tidak menemukan layangan saya. Ternyata bapaksaya melihat saya mengejar layangan tersebut. Dengan sedikit senyum dia berkata bahwa layangan itu sudah diberi amanah sesuai apa yang dituliskan pada layangan tersebut. Dan layangan tersebut telah menunaikan tugasnya. Saya agak mengacuhkan  perkataan bapak saya. Namun satu kalimat bapak  telah  menghilangkan kegundaan saya.
“besok saya buatkan lagi”
Saya pun telah memulai melupakan kejadian tadi. Dan dengan tegas saya menampik perkataan bapak saya.
“lain kali jangan tuliskan kata-kata itu pada layangan”
Bapak hanya tersenyum.

Teruntuk almarhum bapak dan mama’, terima kasih telah memoles kehidupan saya dengan baik. Ternyata dari berbagai kejadian, kalian memberikan pengalaman hidup yang sangat bermanfaat bagi saya. Layangan itu mengajarkan saya bahwa segala sesuatu dimulai dari niat dan kita akan mendapatkan apa yang saya niatkan.
Dalam hadist
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

Copas : fb @ipulTerru

Tidak ada komentar: