Selasa, 22 Mei 2012


Lejja dan Mistisisme Masyarakat yang Tak Pernah Punah


     Boleh jadi pengunjung objek wisata permandian air panas Lejja yang berada di Desa BuluE, Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng –sekitar 44 kilometer sebelah utara kota Watangsoppeng, atau sekitar 175 km dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tidak mengetahui bahwa hangatnya air panas yang mengepulkan asap belerang itu memiliki cerita mistis yang “dipelihara” oleh masyarakat seputar daerah tersebut sejak nenek moyang mereka. Sebutlah La Mare — nama samaran, seorang lelaki setengah baya yang mengaku sebagai warga setempat dan sudah tinggal di daerah tersebut sejak kecil, berutur kepada penulis mengenai “mistisisme” Lejja.
1335929657365189505Sumber Mata Air Panas Lejja, perhatikan sesajen yang diletakkan pada sumber mata air itu. (Foto: Badar)
  Ia mengatakan, sejak kecil saya tinggal di kawasan ini. Rumah saya tak jauh di bawah, katanya sambil menunjuk satu arah di kaki bukit. Jadi saya mengenal tempat wisata ini sebelum berkembang sebagaimana sekarang. Dulu, kata La Mare, tempat ini memang dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat keramat, angker, dan penuh cerita mistis. Di sini ada “penghuninya”, mahluk-makluk gaib yang memelihara kelestarian kawasan ini. Karena itu para pengunjung tempat ini, terutama anak-anak sekolah yang biasanya lepas kontrol kadang-kadang ada juga yang diganggu sampai kesurupan.Terutama kalau mereka terlalu bermabok-mabokan (maksudnya bukan mabuk minuman keras, tapi melepas kegembiraan kelewat batas hingga histeris). Karena itulah pengunjung yang tahu hal itu tidak mau bermabok-mabokan dan biasanya “permisi” dulu pada “penghuninya” dengan meletakkan sesajen di bawah pohon besar, sumber air panas ini barulah bebas bersuka ria di kawasan ini. Sesajen itu tidak harus makanan, boleh apa saja, yang penting meletakkan sesuatu sebagai tanda permisi.
Dan sampai sekarang pun praktik-praktik upacara mistis seperti itu masih sering dilakukan masyarakat di tempat ini. Lihatlah pohon besar pada sumber mata air panas itu kelihatan sangat angker dengan kain merah dan botol-botol air mineral yang digantung di dahan-dahan rendah bagaikan lampion sebuah pesta. Itu ungkapan verbal sebagai ganti ucapan “permisi” pada penghuninya. Tapi kenapa botol air bukan benda-benda lain ? Ya, karena botol air itulah yang kebanyakan dibawa oleh seorang wisatawan ke tempat wisata. Mungkin juga ada makna lain di baliknya tapi wallahua’lam bissawab, saya tidak mengetahui hal itu, kata La Mare yang mengaku pernah sekolah di SMA dan mendapat pendidikan agama di Madrasah ini.
13359311892112495609Baruga di lokasi Wisata Lejja yang dapat menampung 500 orang (Foto: Badar)


   Yang dimaksud mistik oleh La Mare adalah kepercayaan masyarakat bahwa sumber mata air panas yang keluar dari bawah pohon tua yang sudah berusia ratusan tahun itu memiliki kekuatan atau kemampuan metafisik, dapat menyembuhkan berbagai penyakit serta dapat mendatangkan keberuntungan bagi orang-orang tertentu yang mempercayainya. Karena itulah tidak jarang ada orang yang bernazar atau melepas nazar di tempat itu. Juga tidak jarang ada orang yang datang ke tempat itu dengan maksud untuk berobat.


     Pada dasarnya, air panas yang muncul dari bawah sebuah lempeng batu yang diatasnya tumbuh sebuah pohon raksasa dengan jenggot berjuntai di dahan-dahan itu, memang memiliki kandungan  belerang sekitar 1,5 persen dan dipercaya oleh masyarakat sekitar dapar mengobati berbagai penyakit, terutama penyakit kulit, gatal-gatal dan rematik. Orang yang sedang menderita gatal-gatal dan rematik dan berendam di air panas yang mengepulkan asap belerang ini akan segera merasakan penyakitnya pulih secara berangsur-angsur. Meskipun hal ini belum bisa dibuktikan secara medis namun banyak masyarakat yang percaya pada cerita tersebut. Dan cerita seperti ini juga tumbuh menjadi bahagian promosi wisata Lejja secara tidak langsung dari mulut ke mulut sehingga tempat rekreasi alam ini tak pernah sepi pengunjung.

Dari sumber mata air yang panasnya mencapai 60 derajat celsius ini, pemerintah Kabupaten Soppeng kemudian mengelola potensi alam ini menjadi objek wisata yang cukup menarik. Bahkan hingga saat ini barangkali permandian alam air panas Lejja inilah yang paling populer dari sekian banyak objek-objek wisata alam di Kabupaten Soppeng. Ada tiga kolam induk dengan berbagai variasi bentuk, kedalaman dan kadar air panas yang berbeda, yang dibangun untuk menampung air panas yang mengalir dari sumber mata air di bawah pohon purba berusia ratusan tahun itu. Juga ada beberapa kolam-kolam kecil yang dibangun dalam tempat tertutup (Menggunakan tungkup model rumah-rumah wisata berukuran sekitar 5 X 5 meter yang dilengkapi dengan tirai sehingga tak kelihatan dari luar. Konon, kolam-kolam tertutup seperti itu diperuntukkan bagi pengunjung yang mempunyai pasangan dan ingin mandi bersama di tempat-tempat tertutup itu. Kolam-kolam tertutup semacam ini dipersewakan dengan tarif sebesar 
Rp 100.000,- untuk sekali pakai (bisa sampai 2-3 jam), sedang yang lainnya, yang menggunakan rumah-rumah terbuka dipersewakan dengan tarif Rp 50.000,- perjam. Sedangkan kolam-kolam induk yang ukurannya jauh lebih luas dan dapat ditempati untuk mandi beramai-ramai tidak dipersewakan.

Selain kolam-kolam air panas dalam berbagai variasi bentuk ini, tempat wisata Lejja juga telah dilengkapi dengan permainan alam outbond untuk melatih ketangkasan meniti jembatan dari pohon raksasa ke pohon raksasa lainnya. Juga ada luncuran bagi anak-anak, Guest House dan villa-villa yang dipersewakan antara 300.000 sampai 500.000 ribu semalam dan “Baruga” untuk pertemuan yang dapat menampung sampai 500 orang peserta. Konon juga pada bagian atas lembah ini sudah disiapkan langan tenis. Semua sarana yang disediakan ini telah terjangkau aliran listrik PLN. Sayangnya, kawasan ini memang belum terjangkau oleh signal telkomsel sehingga telepon selular tidak berfungsi d sini.
Pada bagian atas lembah ini berderet-deretlah kios-kios penjual souvenir, makanan ringan, sampai pada benda-benda kerajinan khas Lejja yang dapat jadi oleh-oleh untuk dibawa pulang dengan harga yang terjangkau.
Keadaan alam yang sejuk dan pohon-pohon besar yang sebagian berjenggot lebat di dahan-dahan memagari pinggir lembah sampai ke punggung bukit, membuat kawasan ini sangat menarik dan eksotis. Tempat ini memang berada pada ketinggian 398 meter dari permukaan laut. Untuk mencapat tempat ini, dulu pengunjung harus berjalan kaki sekitar 1 kilometer dari pangkalan gerbang utama sebelum sampai ke lokasi, mendaki tangga kemudian menuruni lembah di mana lokasi wisata ini dikembangkan. Tapi saat ini kendaraan roda empat sudah dapat sampai ke lapangan parkir di lokasi tersebut, meski para penumpang harus menahan nafas karena kendaraan harus menempuh jalan sempit berliku, mendaki pinggang bukit, menikung dan tentu saja dengan jurang yang menganga menunggu anda bergelinding di kiri-kanan jalan jika sopir tidak hati-hati membawa kendaraan.

Kawasan ini berstatus hutan lindung berdasarkan SK. Menhut No. 636/Kpts-II/1996 tanggal 7 Oktober 1996. Luas kawasan ini 1.265 ha yang kemudian dilakukan penataan batas, dan luasnya bertambah menjadi 1.318 ha. Karena merupakan hutan lindung maka pengunjung maupun masyarakat yang bermukim di kawasan ini untuk mencari nafkah dengan membuka toko souvenir, makanan dan kerajinan Lejja harus tunduk pada SK Menhut sebagai hutan lindung. Artinya para pengunjung dan masyarakat setempat harus menjaga betul kelestarian kawasan itu dan tidak melakukan pelanggaran sebagaimana yang ditetapkan oleh peraturan kawasan hutan lindung.
Tipe ekosistem di kawasan ini adalah Hutan hujan tropis daratan rendah. Termasuk dalam tipe ekosistem zona hutan hujan bawah dengan vegetasi tingkat atas berupa Nyato (Plaqium batanense), Lantana (Lantana sp.), Pangi (Pangium edulis), Bitti (Vitex covassa), Ara (Ficus spp.), Anruling (Pesonia umbeliformis), Kenanga (Cananga odonata), Kemiri (Aleuritas moluccana), Ketapang (Terminalia catampa), Enau (Arenga spp.), Cenrana (Pterocarpus indicus), Kayu hitam (Dyospiros celebica). Vegetasi tingkat bawah di antaranya adalah rotan (Calamus spp.).
Sebagai tempat wisata alam kawasan ini sudah mulai dirintis sejak tahun 1990 namun baru dikembangkan berbarengan dengan SK Menhut sebagai kawasan hutan lindung pada tahun 1996. Ada dua aliran air yang dijumpai di dalam kawasan ini, yaitu aliran air permukaan (sungai Mario) dan aliran air bawah tanah. Sumber air panas dijumpai di dalam kawasan ini yang kemudian dikembangkan menjadi objek wisata permandian air panas.
Menurut cerita La Mare, sumber air panas ini tidak pernah kering meski kemarau panjang melanda. Kondisinya tetap sama sepanjang masa. Ini jugalah yang menjadi salah satu penyebab munculnya berbagai kepercayaan “mistikisme” sumber air panas tersebut. Tak jarang pengunjung ada yang mengambil air yang keluar dari sumber mata air panas itu sebagai azimat (jimat), sebagai air sempana (air sakti) yang dipercikkan ke tanaman padi dengan harapan padi tak akan diganggu oleh hama. Ada juga yang menanam airnya atau menyiramkan airnya ke sekeliling rumah dengan harapan agar rumahnya aman tak disantroni maling atau orang-orang jahat lainnya, atau menyimpannya dalam botol kecil kemudian digantung di sudut rumah dengan harapan untuk mencegah terjadinya kebakaran, kena angin puyuh dan musibah bencana alam alam lainnya.
Tentu saja cerita-cerita mistik ini hanya merupakan isapan jempol bagi masyarakat yang sudah menganut paham kebudayaan fungsional (baca: mereka yang berpendidikan). Namun bagi masyarakat awam yang masih menganut kebudayaanmitis banyak yang percaya dan meyakini hal tersebut hingga benar-benar menimbulkan kesaktian. Karena itu pada sebagian masyarakat yang percaya, hal ini bukan sekedar mitos, tetapi sebuah praktik mistisisme yang dipercaya dapat mendatangkan kekuatan metafisika. Barangkali saja apa yang disebut C.A.Van Peursen dalam Stategi Kebudayaan tentang tingkat kebudayaan masyarakat mitis(mereka yang percaya akan kekuatan gaib benda-benda) praktiknya masih dapat ditemui di tempat ini.

Saat saya mendaki ke puncak untuk mencapai sumber mata air panas itu karena penasaran oleh cerita La Mare, saya terkesima karena benar menemukan sekelompok masyarakat sedang melakukan upacara mistik, entah sedang melepas nazar atau sedang berobat tidaklah terlalu jelas. Tetapi saya menyaksikan seseorang yang bertindak sebagai “dukun” duduk di depan menghadap ke pohon besar berjenggot yang dibawahnya mengalir air panas yang mengepul-ngepulkan asap belerang itu sehingga kelihatan sangat dramatis. Kulihat ia sedang komat-kamit mungkin membaca mantra. Meskipun hanya samar-samar karena kabut asap belerang agak menghalangi pandangan mata saya, dapat saya melaporkan bahwa kelompok tersebut memang bukan wisatawan tapi mereka datang khusus untuk kegiatan upacara itu. Beberapa orang laki-laki dan perempuan duduk dengan takzim di belakang sang “dukun”. Usai sang “dukun” membacakan mantra, maka seseorangpun bangkit mengambil sesisir pisang madu dan sebutir kelapa yang sudah dikuliti, serta beberapa lembar daun sirih yang sudh dibentuk sedemikian rupa menyerupai bentuk orang yang duduk bersila kemudian membawa semua sesajen tersebut ke sumber mata air panas yang mengalir di bawah pohon besar itu. Pada tempat itu nampaknya memang sudah dibuat khusus karena disana juga diletakkan sebuah kotak celengan (mirip kotak amal di mesjid) yang terkunci dengan tulisan aksara arab “ALLAH” pada dinding kotak itu.

“Itu tempat uang. Bagi orang yang punya nazar biasanya akan mengeluarkan sedekah dan memasukkan uang di celengan itu” kata La Mare saat saya sudah turun dari puncak dan konfirmasi mengenai kotak berwarna hijau bertuliskan “ALLAH” tersebut. “Di situ juga orang biasa melepas nazar berupa kambing, ayam dan lain-lain. Dulu bahkan orang yang bernazar juga potong hewan di situ. Tapi sejak kawasan ini menjadi kawasan wisata potong hewan sudah dilarang. Hanya melepas hewan yang diperbolehkan.”
“Kalau ada hewan yang dilepas di atas sana, lantas siapa yang punya nantinya?” tanya saya.

“Ya, anak-anak di sini yang berhasil menangkapnya. Saya juga sering ikut mengejar hewan yang dilepas. Bahkan waktu saya masih remaja, saya suka diam-diam mencuri sesajen mereka yang disimpan di bawah pohon itu dan memakannya. Tapi tentu saja jika yang nazar sudah pulang. Rasanya enak, apalagi kalau penganannya adalahsongkolo tujuh warna dan ada pula paha ayam gorengnya, wah enaknya” kata La Mare sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa membayangkan kenakalan dan keberanian La Mare menggasak sesajen tanpa rasa takut