Minggu, 10 Juni 2012

PENGARUH REVOLUSI HIJAU




PENGARUH REVOLUSI HIJAU TERHADAP PERILAKU PEREMPUAN DESA DI SEKTOR PERTANIAN

THE IMPACT OF THE GREEN REVOLUTION TOWARD  WOMEN BEHAVIOR AT COUNTRYSIDE
IN AGRICULTURE SECTOR

Agussalim Syam
 Fakultas Pertanian Universitas Indonesia Timur Makassar

ABSTRACT
National development aspirations who want to increase the role and status of women in national life and also the desire to improve the quality of women's role and independence of the organization just a mere hope. This hope is only hope if the development model that has been applied can not integrate women in development. To applying the agricultural modernization program called the green revolution, which the unwitting impacts of social change in the countryside. Development that was intended for the welfare of the people, especially women otherwise weaken the status of the woman is a model of development that ignore ethical values ​​about women.
Key words: Green Revolution, women behavior.

PENDAHULUAN
         Negara kita kaya dengan sumber daya alamnya dan sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan agrari, oleh karena itu terdapat kurang lebih enampuluh persen penduduknya berkecimpung di dunia pertanian dan umumnya berada di pedesaan. Dengan demikian, masyarakat desa yang agraris menjadi sasaran utama untuk diperkenalkan  teknologi  pertanian tersebut.. Oleh sebab itu, masyarakat agrarislah yang pertama mengalami perubahan sosial.
                  Di kawasan  Indonesia khususnya Indonesia Timur, secara tradisional petani perempuan memegang peranan penting dalam kegiatan produksi pertanian, baik kegiatan manajemen maupun kerja fisik (bertani) itu sendiri, bahkan kegiatanya masih berlangsung terus mulai  pasca panen sampai pada saat panen di musim berikutnya. Wanita potensial untuk melakukan berbagai kegiatan produktif yang menghasilkan dan dapat membantu ekonomi keluarga, dan lebih luas lagi ekonomi nasional, apalagi potensi tersebut menyebar di berbagai bidang termasuk sektor pertanian. Perjalanan proses pembangunan tak selamanya mampu memberikan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat di pedesaan. Pembangunan yang dilakukan di masyarakat desa akan menimbulkan dampak sosial dan budaya . Pendapat ini  berlandaskan pada asumsi pembangunan itu adalah proses perubahan (sosial dan budaya). Selain itu masyarakat pedesaan tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur pokok pembangunan itu sendiri, seperti teknologi dan birokrasi. Perkembangan teknologi telah memberikan manfaat yang begitu besar di segala bidang kehidupan, dan merupakan perangkat canggih pembangunan, disisi lain perangkat tersebut berhadapan dengan masyarakat pedesaan yang masih tradisional dengan segala kekhasannya.
                  Hingga saat ini belum ditemukan adanya penelitian tentang pembangunan teknologi pertanian yang berorientasi memenuhi kebutuhan petani perempuan. Penelitian yang secara partisipatori melibatkan petani perempuan, agar teknologi itu responsif terhadap kebutuhan perempuan, teknonologi biasanya tidak menguntungkan bagi petani perempuan. Para petani perempuan, disamping tidak terdaftar sebagai sumberdaya yang perlu mendapatkan informasi tentang teknologi baru yang disebar luaskan, namun juga  dampak dari penerapan  teknologi baru terhadap merekapun hampir tak pernah dikaji. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bila teknologi baru diperkenalkan, ternyata teknologi itu tidak ramah  perempuan.
                  Namun tetap perlu diperhatikan bahwa setiap masyarakat mempunyai “ego”nya dalam segala bidang termasuk aspek tekhnologi dan kebijakan birokrasi. Perubahan yang diharapkan dengan menperkenalkan tekhnologi seharusnya sesuai dengan apa yang menjadi ego masyarakat tersebut, sehingga pola perubahan dapat diterima oleh masyarakat. Karena setiap kebijakan dan perkenalan  teknologi yang diberikan pada masyarakat agraris di pedaesaan akan memberikan dampak perubahan sosial yang multi dimensional. Perempuan dan teknologi bukan sekedar bermakna bertemunya sebuah produk dengan pasar potensial lalu menghasilkan keuntungan yang fantastis. Ini juga bisa berarti bertemunya dua kekuatan besar untuk melakukan sebuah perubahan revolusioner menuju masyarakat dan bangsa yang lebih maju dan berkualitas.
                  Pelaksanaan kebijakan teknologi pertanian mempunyai jalinan yang sangat kuat dengan aspek-aspek lainnya. Jika kita rinci dimensi-dimensi perubahan tersebut, maka akan terlihat sangat nyata terjadi perubahan dalam struktur, kultur dan interaksional. Perubahan sosial dalam tiga dimensi ini, kalau dibiarkan terus akan merusak tatanan sosial masyarakat desa. Maka dari itu sangat dibutuhkan kajian yang sangat mendalam untuk mencegah dampak negatif dari kebijakan birokrasi dan asupan teknologi yang mengiringinya dan terhadap masyarakat dan aparat yang menjalaninya.
                  Beberapa pemerhati masalah perempuan dalam pembangunan telah menilai bahwa pembangunan yang kita laksanakan selama ini gagal memperhatikan nasib maupun kepentingan perempuan. Partisipasi perempuan yang secara historis dan tradisional yang telah memainkan peranan penting di sektor pertanian pedesaan telah dihancurkan oleh pembangunan melalui program-program yang disebut dengan Revolusi hijau (modernisasi pertanian). Khususnya mengenai Revolusi hijau beberapa ahli sosial mengatakan  bahwa revolusi hijau sebagai implementasi dari modernisasi pertanian telah banyak merusak tatanan masyarakat dipedesaan. Pandangan ini apabila disikapi dari isu gender bahwa pembangunan pertanian telah menciptakan perubahan struktur masyarakat. Jika sebelum moderenisasi pertanian diperkenalkan ke tengah masyarakat pedesaan pola hubungan antara laki-laki dan perempuan bersifat hubungan kesetaraan gender atau keseimbangan gender tetapi setelah modernisasi diterapkan maka dalam perspektif sosiologis hubungan struktural berubah menjadi ketimpangan gender. Artinya adanya hubungan dominasi dan subordinasi antara laki-laki  dan perempuan didalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat termasuk dalam aktivitas pertanian.
PENGARUH TEKNOLOGI DAN PERUBAHAN SOSIAL PEREMPUAN DI PEDESAAN
                  Negara-negara maju adalah negara yang telah berhasil melakukan transformasi dari negara berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis besar proses transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi, fasisme dan komunisme (
1.      Demokrasi
     Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas dan  tuan tanah. Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok pendukung saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala penhancuran kelompok masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil. Negara yang mengambil jalan demokrasi.
2.      Fasisme
     Berbeda halnya demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas ini yang memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan. Negara yang memilih jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh kelompok borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan mudah dikalahkan. Jepang dan Jerman merupakan contoh dari negara yang mengambil jalan fasisme.
3.      Komunisme
     Komunisme lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang dilakukan merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif ( primitive communism ) kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas ( scientific communism ). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis. Dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan komunisme dalam proses transformasinya adalah Cina dan Rusia.
                  Perubahan yang terjadi akibat kebijakan dan asupan teknologi dapat meranah pada perubahan multidimensional di tengah masyarakat. Perubahan tersebut berupa perubahan dimensi kultural dan dimensi struktural, perubahan dalam dimensi kultural mengacu kepada perubahan kebudayaan dalam masyarakat, seperti adanya penemuan (discovery) dalam berpikir (ilmu pengetahuan), pembaruan hasil (invention) teknologi, kontak dengan kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya difusi dan peminjaman kebudayaan. Kesemuaannya itu meningkatkan adanya integrasi unsur-unsur baru kedalam kebudayaan. Bentuk- bentuk sosial lainnya, dimana bentuknya tidak berubah dan tetap dalam kerangka kerjanya. Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan sulit dipisahkan. Tetapi secara teoritis dapatlah dikatakan bahwa perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam struktur sosial dan hubungan sosial, sedangkan perubahan kebudayaan mengacu kepada perubahan pola-pola perilaku, termasuk teknologi dan dimensi dari ilmu, material dan nonmaterial.
                  Dimensi struktural mengacu kepada perubahan-perubahan dalam bentuk struktural masyarakat, menyangkut perubahan dalam peranan, munculnya peranan baru, perubahan dalam struktural kelas sosial dan perubahan lembaga sosial. Secara sederhana perubahan struktural dijelaskan sebagai berubahnya bentuk lama diganti dengan bentuk-bentuk baru yang secara tidak langsung dapat menimbulkan difusi kebudayaan. Bentuk umum dan bentuk baru dapat diganti dan dimodivikasi secara terus-menerus.
                  Pada masa pembangunan ini, baik itu setelah Indonesia merdeka maupun orde baru, desa secara terus menerus mengalami perubahan sosial. Masyarakat desa menerima dan menggunakan hasil penemuan atau peniruan teknologi khususnya di bidang pertanian, yang merupakan orientasi utama pembangunan di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial di pedesaan, misalnya datangnya kolonialis dengan berbagai ciri kebudayaan yang dibawanya, pola pendidikan, sistem ekonomi, politik pemerintahan dan banyak hal yang tak mungkin dipisahkan dari faktor-faktor individual yang yang berpengaruh dengan secara tanpa disadari mampu mempengaruhi individu lainnya. Faktor yang penting dalam kaitannya dengan pembicaraan ini adalah teknologi, yang sangat nyata berkaitan dengan perubahan sosial di pedesaan.
                  Pada tahun60-an Indonesia menerapkan program modernisasi pertanian yang dinamakan revolusi hijau, dimana tanpa disadari menimbulkan perubahan sosial dipedesaan. Revolusi hijau sebenarnya suatu program intensifikasi tanaman pangan yang membawa ide modernisasi. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal, antara lain dalam hal pengelolaan tanah, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, penggunaan sarana-sarana produksi dan pengaturan waktu panen. Disamping penerapan teknologi, ide modernisasi juga terlihat dalam hal mengatur kelembagaan produksi. Seiring dengan pengenalan terhadap pola yang baru dilakukan pula pembenahan erhadap kelembagaan-kelembagaan yang berkaitan dengan pertanian, seperti : kelompok tani, KUD, PPI, Bank Perkreditan, P3 A dan sebagainya. Selanjutnya muncul pula pola pengembangan revolusi hijau dalam bentuk, usaha Ekstensifikasi, Intensifikasi dan Diversifikasi.
                  Penerimaan terhadap teknologi baik itu dipaksakan ataupun inisiatif agen-agen perubah, tidak terelakkan lagi akan mempengaruhi perilaku sosial (social behavior) dalam skala atau derajat yang besar. Lebih dari itu, introduksi teknologi yang tidak tepat mempunyai implikasi terhadap perubahan sosial, yang kemudian akan diikuti dan diketahui akibatnya. Contohnya, ketika teknologi berupa traktor atau mesin penggilingan padi awal gerakan revolusi hijau sekitar tahun60-an masuk ke desa, banyak buruh tani di pedesaan  khususnya perempuan menjadi pengangguran akibat tenaganya tergantikan oleh mesin-mesin traktor. Keadaan ini menimbulkan perubahan struktur, kultur dan interaksional di pedesaan. Perubahan dalam suatu aspek ini nantinya akan merembet ke aspek lain. Struktur keluarga berubah, di mana buruh wanita yang biasa menumbuk padi sebagai penghasilan tambahan, sekarang hanya tinggal di rumah. Masuknya traktor menyebabkan tenaga kerja hewan menganggur dan buruh tani kehilangan pekerjaannya. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya urbanisasi, buruh tani dan pemuda tani lari ke kota mencari pekerjaan. Hal ini kemudian memberikan dampak kepadatan penduduk yang membeludak di perkotaan, lalu menjadikan perputaran ekonomi kota semakin besar dan desa semakin tertinggal. Namun keadaan ini tidak sampai di sini, ketika mereka kembali lagi ke desa timbul konflik kultur akibat budaya yang terbangun selama berada di kota terbawa ke desa. Dari contoh sederhana ini dapat dibayangkan betapa akibat perubahan suatu aspek dapat merembet ke aspek lainnya.
PENGARUH NEGATIF DARI REVOLUSI HIJAU TERHADAP PARTISIPASI PEREMPUAN DESA DI SEKTOR PERTANIAN.
                  Tidak  dapat dipungkiri bahwa revolusi hijau telah mendatangkan kemajuan yaitu tercapainya produksi pertanian yang mencapai puncaknya yaitu swasembada pangan. Namun dibalik kesuksesan ini semua harus dibayar dengan penderitaan para petani. Sebenarnya yang  diuntungkan oleh pembangunan ini adalah petani berdasi, selebihnya banyak petani penggarap yang tersingkir karena tidak siap menerima perubahan yang ditimbulkan oleh modernisasi. Adapun modernisasi di bidang pertanian dengan revolusi hijaunya telah menyebabkan beberapa masalah di dunia ketiga, khususnya Indonesia seperti : (1). peningkatan jumlah pengangguran, (2). merosotnya nilai-nilai tradisional dan bentuk ikatan lainnya, (3). norma-norma saling membutuhkan dan ketergantungan yang hidup dipedesaan mulai menghilang, (4). terjadinya polarisasi sosial, dan (5)Terjadinya penurunan status wanita di pedesaan.
                  Adanya hubungan negatif antara pembangunan sosio-ekonomi suatu negara atau modernisasi dengan pembangunan ekonomi, sosial, ini dimungkinkan adanya suatu kenyataan bahwa negara-negara berkembang perempuan tidak diberi kesempatan terhadap akses teknik-teknik pertanian modern, sebagian dikarenakan adanya nilai bahwa perempuan tidak dapat menangani mesin-mesin pertanian. Lebih jauh lagi status dan peranan perempuan dinegara berkembangan pada awalnya cukup tinggi dan dihargai oleh masyarakat, artinya wanita memiliki partisipasi yang setara dengan laki-laki dalam kegiatan ekonomi, etapi ketika “Western model middel-class bias“ dan pembangunan yang “sex male-bias“ ini telah merasuki pemikiran perencana pembangunan, mereka telah mengabaikan arti penting dari peran perempuan yang secara tradisional telah dimainkan perempuan di masyarakat dengan sisitem ekonomi dan pertanian yang subsisten. Dampak negatif lainnya dari pembangunan yang mengikuti model-model barat yang telah merugikan perempuan, yaitu mekanisasi dibidang pertanian (dalam arti luas) yang telah menghapuskan peran ekonomi perempuan yang secara tradisional menjadi bidangnya.
                  Kenyataan lain dengan pesatnya pembangunan di sektor telah menimbulkan marginalisasi perempuan atau telah memiskinkan kaum perempuan. Misalnya saja program revolusi hijau di pulau Jawa yang memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang dengan menggunakan sabit, tidak memungkinkan lagi penggunaan ani-ani, masuknya huller juga menggeser peran tradisional perempuan sebagai penumbuk padi. Akibatnya banyak kaum perempuan miskin di desa menjadi termarjinalisasi, partisipasi tradisional mereka sebagai pekerja di sawah menjadi tersingkir. Ini berarti bahwa program revolusi hijau itu dirancang tanpa memperhitungkan aspek  perempuan.
                  Perkenalan  teknologi biasanya tidak menguntungkan bagi petani perempuan. Bukan saja petani perempuan tidak terdaftar sebagai sumberdaya yang perlu mendapatkan informasi tentang teknologi baru yang disebar luaskan, namun juga  dampak dari penerapan  teknologi baru terhadap mereka hampir tak pernah dikaji. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bila teknologi baru diperkenalkan, ternyata teknologi itu tidak ramah pada perempuan. Di waktu revolusi hijau  teknologi yang masuk ke desa lebih banyak dikuasai oleh golongan ekonomi kelas atas dan menengah di desa. Dengan demikian golongan tersebut dengan pendirianya akan menentukan pasaran kerja di desa, yang mana hanya para petani yang memiliki keahlian dalam mengunakan teknologi yang dapat diserap.
                  Salah satu contoh kecil dampak negatif dari revolusi hijau adalah masuknya teknologi perangkat usaha ternak sapi perah, menggeser peternak tradisional yang hanya memiliki satu sampai tiga ekor ternak. Perangkat teknologi tersebut merubah sistem beternak, dari ekonomi keluarga ke ekonomi komersial, dengan jumlah ternak yang banyak dan dikuasai oleh golongan ekonomi kuat di desa atau di kota yang menanamkan modalnya di desa. Perangkat teknologi sapi perah seperti mixer makanan ternak, cooling unit susu, sistem pengawetan dan lain-lain, memungkinkan orang untuk menangani jumlah ternak sapi lebih banyak. Hal ini memberikan bukti bahwa teknologi mengakibatkan meningkatnya ukuran usaha tani di pedesaan akan tetapi memberikan kondisi terbalik terhadap perempuan-perempuan desa yang terdesak dari kegiatan sektor pertanian.
                  Berdasarkan  kenyataan ini maka telaah kepada kita bahwa modernisasi sebagai perspektif pembangunan di Indonesia telah membawa akibat yang fatal terhadap perempuan yang bekerja di sektor pertanian. Konsekuensi kebijakan pembangunan yang direncanakan tanpa mempertimbangkan gender, khususnya  perempuan telah menciptakan beberapa hal yaitu : 1. Gagal memperhatikan peran produktif perempuan yang telah dimainkannya yaitu perempuan partisipasinya sudah tinggi dalam aktivitas ekonomi kemasyarakatannya berubah menjadi lemah bahkan sama sekali ditiadakan. 2. Mengukuhkan nilai-nilai dari suatu masyarakat dimana aktivitas perempuan dibatasi di sekitar tugas-tugas rutin rumah tangga, atau disekitar mengurus anak dan 3. Perspektif modernisasi sebagai strategi pembangunan di negara berkembang menciptakan bias nilai mengenai pekerjaan apa yang paling cocok untuk perempuan modern di masyarakat sedang berkembang.

PENUTUP
        Dampak revolusi hijau (modernisasi pertanian) terhadap partisipasi pembangunan perempuan dipedesaan sebagai berikut :
a. Teknologi dan birokrasi merupakan dua unsur pokok yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dalam konteks pembangunan di pedesaan.
 b. Teknologi dan birokrasi telah menimbulkan perubahan sosial dalam tiga dimensi     
   utama; struktural, kultural dan interaksional.
c. Akibat teknologi masuk desa, telah menimbulkan pergeseran struktur kehidupan
   masyarakat, struktur ekonomi, lembaga sosial, lembaga pendidikan dan keluarga
d. Revolusi hijau mampu mempolarisasi ekonomi masyarakat tani dengan adanya
   asupan teknologi.
e. Perspektif modernisasi sebagai model pembangunan import ala Barat secara struktural dan kultural banyak tidak cocok diterapkan pada perempuan pedesaan yang bekerja sebagai petani. Oleh karena itu pembangunan ini harus ditinjau kembali. Kita harus mencari model pembangunan yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Sepatutnyalah kita gali model pembangunan yang peka atau sensitive terhadap gender perempuan.


DAFTAR  PUSTAKA

Balakrishnan, Revathi. 1992. Reorientation of Home Economics Rural Development in Developing Countries: A Technology Transfer Training Approach. FAO. Rome

Bhaskar, B.N. 1987. Technology and Gender. Women’s Studies Unit, UPM & Malaysian Science Association. Kuala Lumpur”

Darmanto, 2009, ICT dan Perempuan Usaha Kecil, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil.
Hesti, R.Wd. 1996. Penelitian Perspektif Gender dalam Analisis Gender Dalam Memahami Persoalan Perempuan, Jurnal Analisis Sosial Edisi IV.
Mulyadi, Agus, Wahyuni, S. Rachmawati, S. Silitonga S, Sukarsih, dan Suparyanto, A. 1993. Peranan Perempuan dalam System Usaha tani di Jawa dan Bali. Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional Bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Peternakan. Badan Pene-litian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Susilo Martoyo,S.E, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia. BPFE-Yoggyakarta.
________., 1993. “Sumber Daya yang Terabaikan: Perempuan Tani dalam Penyuluhan Pertanian. Masyarakat Indonesia No.2: 233-256.
________., Juliati, Jajuk, Santoso. Heru. Idris Susrini, dan Widyanto. 1995. Peningkatan Partisipasi Perempuan Tani dalam Proyek Pertanian Lahan Kering. Research Report, Research Centre for Women’s Studies. Universitas Brawijaya. Malang.

Tidak ada komentar: